Justicia Religia
https://ejurnal.unival-cilegon.ac.id/index.php/jure
<p><strong>Justicia Religia</strong> adalah Jurnal Hukum Islam yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Al-Khairiyah yang memuat publikasi penelitian dibidang Hukum Islam yang mencakup<span class="a"> kajian ataupun pembahasan yang berkaitan</span><span class="a">dengan <strong>Hukum Islam Klasik dan Kontemporer, </strong><em><strong> Perbandingan Hukum Islam dan Sistem Hukum Lain, Hukum Keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyyah), Hukum Pidana Islam (Jinayah), Hukum Ekonomi Syariah, Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Syariah), Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, Metodologi Penelitian Hukum Islam, Implementasi Hukum Islam di Dunia Modern, Fiqh Minoritas (Fiqh al-Aqalliyat), dan Hukum Islam lainnya</strong></em></span><em><strong>,</strong></em> diterbitkan 2 kali dalam 1 tahun atau 1 kali setiap semesternya. Terbit di setiap Bulan Juni dan Bulan Desember</p>LPPM Universitas Al-Khairiyahen-USJusticia ReligiaADOPSI ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM KELUARGA ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
https://ejurnal.unival-cilegon.ac.id/index.php/jure/article/view/421
<p>Adopsi anak merupakan praktik sosial yang berkembang luas di masyarakat Indonesia sebagai bentuk kepedulian dan perlindungan terhadap anak yatim maupun anak terlantar. Dalam perspektif hukum keluarga Islam, praktik ini dikenal dengan istilah tabanni. Islam memandang bahwa pengangkatan anak merupakan perbuatan terpuji apabila dilandasi niat memberikan kasih sayang, pemeliharaan, serta pendidikan yang layak bagi anak. Namun, Islam memberikan batasan tegas bahwa anak angkat tidak boleh disamakan statusnya dengan anak kandung, khususnya dalam hal nasab, kewarisan, dan kemahraman. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 4–5 yang melarang penyandaran anak angkat kepada selain ayah kandungnya. Sementara itu, hukum positif di Indonesia memberikan dasar hukum yang jelas bagi praktik adopsi melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 35 Tahun 2014, serta Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Hukum positif memandang adopsi sebagai salah satu instrumen perlindungan anak dengan prinsip utama the best interest of the child (kepentingan terbaik anak). Regulasi tersebut mengatur prosedur pengangkatan anak baik melalui jalur pengadilan maupun lembaga sosial, dengan tujuan utama menjamin hak-hak anak agar tetap terpenuhi. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji konsep adopsi anak dari perspektif hukum Islam dan hukum positif Indonesia, serta menganalisis titik temu maupun perbedaan antara keduanya. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan prinsipil dalam hal nasab, waris, dan status hukum anak angkat, namun kedua sistem hukum memiliki kesamaan dalam hal menekankan kewajiban pemeliharaan, pemberian kasih sayang, serta perlindungan hak-hak anak. Dengan demikian, adopsi dapat dijalankan secara harmonis sepanjang tidak melanggar prinsip syariat Islam dan tetap sejalan dengan regulasi negara, sehingga hak anak tetap terlindungi baik secara hukum maupun moral.</p>M. RaudhoSiti Layin Musfiko
Copyright (c) 2025 Justicia Religia
2025-06-152025-06-153117 HAK REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF MAQAṢID AL-SYARI‘AH DAN HUKUM KELUARGA ISLAM
https://ejurnal.unival-cilegon.ac.id/index.php/jure/article/view/424
<p>Hak reproduksi perempuan merupakan salah satu isu penting dalam diskursus hukum keluarga Islam kontemporer. Hak ini mencakup kebebasan perempuan untuk menentukan jumlah, jarak, serta kesehatan dalam proses kehamilan dan persalinan, yang sering kali berbenturan dengan tafsir keagamaan maupun struktur sosial patriarkis. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis hak reproduksi perempuan dalam bingkai <em>Maqaṣid al-Syari‘ah</em>, khususnya pada tujuan hifẓ al-nafs (perlindungan jiwa) dan hifẓ al-nasl (perlindungan keturunan), serta melihat implementasinya dalam hukum keluarga Islam di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah studi normatif dengan pendekatan yuridis-teologis, melalui analisis literatur fiqh klasik, hukum positif (Kompilasi Hukum Islam), dan kajian kontemporer tentang gender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip <em>Maqaṣid al-Syari‘ah </em>mendukung pengakuan hak reproduksi perempuan, karena berkaitan erat dengan upaya menjaga keselamatan jiwa, kesehatan ibu, serta keberlangsungan keturunan yang berkualitas. Dengan demikian, hukum keluarga Islam memiliki landasan normatif untuk mengakomodasi hak-hak reproduksi perempuan, sehingga dapat menjawab tantangan sosial dan medis di era modern.</p>Ikhwanul Karim
Copyright (c) 2025 Justicia Religia
2025-06-152025-06-15312129PRAKTIK RADD DALAM HUKUM WARIS ISLAM
https://ejurnal.unival-cilegon.ac.id/index.php/jure/article/view/422
<p><em>This study discusses the practice of Radd in Islamic inheritance law, which is a method of settling residual inheritance when there are no ashabah. This study uses a qualitative approach with the library research method to analyze the radd concept from a historical perspective, its conditions and calculation methods. The results of this study show that radd occurs when there is residual property after distribution to ashabul furudh and there is no heir to the ashabah. There are differences of opinion among scholars regarding radd, such as the opinion of Zaid bin Tsabit who handed over the remaining wealth to Baitul mal, Uthman bin Affan who distributed to all ashabul furudh including husbands/wives, and Umar bin Khattab and Ali bin Abi Talib who only gave the heirs of nasabiyah, Ibn Abbas almost the same as the settlement of the third group, That is, not giving radd to the heirs of the sababiyah. However, he did not give radd to the grandmother. This article also presents an example of a radd calculation based on this opinion. A comprehensive understanding of radd is needed to ensure fairness in the distribution of inheritance according to Islamic law.</em></p>Muhammad RiyanM. IslahuddinMimin Rohimin
Copyright (c) 2025 Justicia Religia
2025-06-152025-06-1531815Perbedaan Pandangan dalam Pernikahan Dini antara Ulama Klasik dengan Ulama Kontemporer
https://ejurnal.unival-cilegon.ac.id/index.php/jure/article/view/423
<p>Early marriage is a social phenomenon that remains prevalent, particularly in developing countries such as Indonesia. This practice has sparked debates among scholars, especially between classical and contemporary Islamic scholars. Classical scholars generally allow early marriage based on Qur’anic verses, prophetic traditions, and the practices of the early Muslim generations, provided that the essential pillars and conditions of marriage are fulfilled. In contrast, contemporary scholars emphasize the approach of <em>maqāṣid al-sharī‘ah</em>, which focuses on welfare, health, and psychological readiness of the spouses, thereby tending to reject or restrict early marriage practices. This study aims to analyze the differences in perspectives between the two groups of scholars through a literature review. The analysis shows that classical scholars focus more on the legality of the marriage contract, while contemporary scholars take into account the social, educational, and health impacts. These differences are reflected in modern legal regulations, including Indonesian positive law, which sets the minimum age for marriage at 19 years. Thus, this divergence highlights the dynamic nature of Islamic jurisprudence and the necessity of contextualizing Islamic law to meet the needs of modern society.</p>Dedi Setiawan
Copyright (c) 2025 Justicia Religia
2025-06-152025-06-15311620